Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam
keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi
menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra
Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember
Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi
ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh
perusahaan tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh
PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT.
Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar
Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung
Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome;
Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo
Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis
Indonesia secara besar besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor
menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan
yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat
hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang
Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan
peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada masyarakat.
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak
didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat
menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai
jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat
setempat yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun
temurun sebelum negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan
distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang
riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius
justru terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dengan rakyat.
Perusahaan pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan
kepentingan rakyat menebang pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses
rakyat setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan
dan damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan
mengelola 59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi
sekedar menebang bahkan membabat hutan tanpa menanam kembali. Beberapa
konglomerat yang pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo
Pangestu seluas 3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200
ha), PO Suwandi (2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan
bahwa awal Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para
kroni Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut
pencadangannya, 5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999)
Dephutpun juga mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan
dikuasai oleh 33 perusahaan besar di 7 propinsi.
Eksploitasi yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang
10 tahun terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai
260,58 juta meter kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis
98,052 juta meter kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5
tahun terakhir mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$.
Sayangnya, nilai devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh
Pemerintah Daerah. Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor
kehutanan langsung dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh
Pemerintah Pusat. Tampak jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat.
Indikator ini dapat dilihat dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha
perkayuan pada HPH terbilang sangat kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun
1997. Sementara di pihak lain, ada sekitar 20 juta jiwa rakyat yang
mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan mengalami kemiskinan yang
berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan lahan 1997-1998, mereka
mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong
pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat
setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah
negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan
asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar.
Masyarakat harus mengalah kepada HPH, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan
proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya
dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal
internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar