DKI Jakarta sebagi ibukota Republik
Indonesia mempunyai flora dan fauna yang dijadikan maskot kebanggaan masyarakat
kota Jakarta. Maskot tersebut adalah burung elang bondol dan salak condet. Elang
Bondol sebagai maskot kota Jakarta, pastinya sudah diketahui oleh semua warga kota
Jakarta. Bahkan bus transjakarta pun turut menggunakan gambar burung Elang
Bondol (dengan mencengkeram Salak Condet) sebagai logo yang terpasang di setiap
bisnya. Namun bagi yang memperhatikan pastinya juga akan mafhum jika semakin
hari, Sang Maskot Kota Jakarta, Elang Bondol, semakin sulit dijumpai dan langka.
BURUNG
ELANG BONDOL
Elang Bondol merupakan salah satu
jenis elang yang dapat dijumpai di Indonesia. Elang Bondol kadang disebut juga
sebagai Lang Lang Merah atau Elang Tembikar. Dalam bahasa Inggris dikenal
dengan sebutan Brahminy Kite atau Red-backed Sea-eagle. Sedangkan
nama ilmiah hewan ini adalah Haliastur indus yang bersinonim dengan Falco indus.
Ciri-ciri dan Perilaku Elang Bondol. Elang Bondol berukuran
sedang dengan besar sekitar 45 cm. Pada elang dewasa, bagian kepala, leher,
hingga dada berwarna putih sedangkan bulu lainnya berwarna coklat pirang. Pada
elang remaja, hampir keseluruhan bulunya berwarna coklat.
Elang Bondol sering kali hidup sendiri.
Meskipun pada daerah dengan sumber makanan yang melimpah dapat hidup
berkelompok hingga mencapai 35 individu. Bukan hanya penampilannya saja yang
terlihat gagah, namun gerakan akrobatik burung ini di udara juga kerap
mempesona. Elang Bondol sering memamerkan gerakan terbang naik dengan cepat
diselingi gerakan menggantung di udara, kemudian menukik tajam dengan sayap
terlipat dan dilakukan secara berulang-ulang. Selain itu sering kali burung ini
terbang rendah di atas permukaan air untuk mencari mangsa.
Makanan Elang Bondol cukup
bervariasi. Burung ini sering memakan kepiting, udang, dan ikan, hingga sampah dan ikan
sisa tangkapan nelayan. Elang Bondol juga memangsa burung, anak ayam, serangga,
dan mamalia kecil. Mangsa tersebut dapat berupa mangsa hidup ataupun telah mati.
Suara burung Elang
Bondol saat terbang berpasangan terdengar seperti jeritan dengan suara
“iiuw-wir-r-r-r-r”. Dan saat memburu pendatang atau burung saingan akan
mengeluarkan suara lengkingan keras bernada “piiiii-yah”.
Musim berkembang biak biasanya
berlangsung pada bulan Januari-Juli dan Mei-Oktober. Burung ini akan membuat
sarang yang tersusun atas patahan batang, rumput, daun, rumput laut, sisa
makanan dan sampah dan diletakkan di atas pohon yang tersembunyi. Dalam satu
musim bertelur antara 1-4 butir berwarna berwarna putih, sedikit berbintik
merah yang akan menetas setalah dierami selama 28-35 hari. Anak elang mulai
belajar terbang di usia 40-56 hari, dan mulai hidup mandiri setelah dua bulan.
SALAK CONDET
Di
Jakarta, Salak Condet pernah berjaya di awal tahun 80-an. Namun sayang, produk
unggulan dari Kampung Betawi ini terancam punah karena semakin terbatasnya
lahan untuk menanam salak.
Dulu,
jenis salak ini banyak tumbuh di kawasan Cagar Budaya Condet, Jakarta Timur.
Buahnya agak sulit dibedakan dengan jenis salak lain. Bentuk buahnya bulat
telur terbalik mengarah ke bulat. Kulit buahnya bersisik agak besar dan
berwarna cokelat sampai kehitaman. Daging buahnya tebal, masir, kesat, dan tak
berair serta berwarna putih kekuningan. Rasanya bervariasi, dari kurang manis
sampai manis. Salah satu keistimewaan salak condet adalah aromanya yang wangi.
Bahkan, harum salak ini sudah tercium dari jarak sekitar 2 m. Ukuran buahnya
bervariasi dari kecil, sedang, sampai besar. Produktivitasnya termasuk rendah.
Buah
salak dapat dimakan segar atau dibuat manisan dan asinan. Batangnya tidak dapat
digunakan untuk bahan bangunan atau kayu bakar. Namun, tanaman salak baik untuk
batas kebun sekaligus sebagai pengaman kebun.
Salak
tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl dengan tipe iklim
basah. Tipe tanah podsolik dan regosol atau latosol disenangi oleh tanaman
salak. Lingkungan yang dikehendaki mempunyai pH 5-7, curah hujan 1500--3000 mm
per tahun dengan musim kering antara 4-6 bulan. Pada kondisi lingkungan yang
sesuai, tanaman mulai berbuah pada umur tiga tahun. Tanaman salak muda lebih
senang hidup di tempat teduh atau di bawah naungan. Oleh karena itu, umumnya
salak ditanam di bawah tanaman duku, durian, atau pohon jinjing atau sengon
(Albezia sp.).
Pemeliharaan
tanaman salak yang penting adalah menjaga kebersihan kebun dan membuang tunas
anakan yang muncul. Umumnya, pembuangan tunas anakan dilakukan setelah
dicangkok dan terus hidup. Jumlah daun yang disisakan maksimum sekitar 17
helai. Pelepah daun dipangkas dengan gergaji atau sabit tajam. Dengan cara ini,
sinar matahari dapat masuk ke kebun salak dan pengambilan buah pun mudah
dilakukan. Biasanya, bakal buah sebesar kelereng tumbuh rapat sekali pada tiap
tandan. Bakal buah perlu dibuang (penjarangan) agar buah salak tumbuh besar dan
merata.
Hama yang
timbul pada tanaman salak adalah kutu wol (putih) atau Cerataphis sp. yang
bersembunyi di sela-sela buah. Selain itu, kumbang (uret) atau omotemnus sp.
sebagai penggerek tunas. Tupai dan tikus juga menjadi hama yang menjengkelkan.
Hama ini dapat diatasi dengan Furadan 3 G dan semprotan insektisida Tamaron
0,3%. Penyakit yang sering tampak adalah noda hitam pada daun akibat cendawan
Pestalotia sp. dan penyalat busuk merah (pink) pada buah dan batang oleh
cendawan Corticium salmonicolor. Tanaman sakit dan daun yang terserang harus
dipotong dan dibakar di tempat tertentu karena sulit dikendalikan.
Buah
salak dapat dipanen setelah matang benar di pohon, biasanya berumur enam bulan
setelah bunga mekar (anthesis). Hal ini ditandai oleh sisik yang telah jarang,
warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulu-bulunya telah
hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila
ditekan. Pemanenan buah dengan cara memotong tangkai tandannya. Hasil tanaman
salak di Bali dapat mencapai 15 ton/hektar. Panen besar antara bulan
Oktober-Januari.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar