SUKU
ASMAT
Suku Asmat
adalah salah satu suku dari 315 suku asli/pribumi Tanah Papua yang hidup di dua wilayah, yakni (a)wilayah pesisir
pantai selatan Papua atau di tepi sungai, kehidupan keseharian mereka suka
mencari ikan, meramu (menokok sagu) dan berburu serta (b) di wilayah pedalaman
yaitu masyarakat asmat yang hidup di daerah rawa-rawa dan sungai serta
danau, mereka suka mencari ikan, nelayan, meramu(menokok sagu) dan namun tidak
bercocok tanam. Barangkali karena tinggal di dua wilayah yang berbeda sehingga
mereka memiliki perbedaan dialek bahasa, cara hidup, strata sosial dan pesta
ritual.
Terlepas dari
dua perbedaan di atas, suku Asmat sendiri sebenarnya terdiri dari dua belas sub
suku, yakni: Joirat, Emari Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap, Unir Siran,
Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm dan Yupmakcain. Pembagian sub suku ini
terjadi dalam lingkungan masyarakat Asmat sendiri akibat tempat tinggal, kiat
menyikapi lingungan serta persebaran masing-masing kelompok masyarakat dalam
suku Asmat.
Sedangkan kata
Asmat itu sendiri bermakna manusia kayu atau pohon. Versi kedua mengenai
makna kayu adalah masyarakat Asmat meyakini bahwa yang pertama kali muncul di
permukaan bumi adalah pohon-pohonan. Pohon-pohon itu adalah ucu (beringin) dan
pas (kayu besi), yang diyakini sebagai perwujudan dua mama tua yaitu
Ucukamaraot (roh beringin) dan Paskomaraot (roh kayu besi). Barang kali keyakinan
mistis inilah yang memberikan kesan bahwa ukiran atau pahatan kayu yang dibuat
orang Asmat itu sangat ‘berjiwa’.
Kondisi Geografis Asmat dan data Geografi Kabupaten
Asmat
Wilayah yang
mereka diami sangan unik. Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring
laba-laba sungai. Di bagian utara, kaki Pegunungan Jayawijaya atau kabupaten
Puncak Jaya dan Nduga Jaya, Bagian timur kabupaten Mappi dan Merauke bagian
selajatan Lautan Arafura serta bagian barat dengan Kabupaten Mimika.
Wilayah yang didiami
oleh Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama KABUPATEN Asmat
dengan 7 kecamatan atau Distrik. Hampir semua wilayahnya berada di tanah
berawa. Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3.000-4.000 milimeter per
tahun. Setiap hari juga pasang surut laut masuk ke wilayah ini, sehingga tidak
mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur. Jalan hanya
dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah lembek. Praktis tidak semua
kendaraan bermotor bisa melalui jalan ini. Orang yang berjalan harus
berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.
Rumah Tradisional
Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2
macam bangunan, yaitu rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah keluarga, biasanya
didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari seorang ayah, seorang atau
beberpa istri, dan anak-anaknya. Setiap istri memiliki dapur, pintu, dan tangga
sendiri. Lima tahun sekali, rumah-rumah tersebut diperbaharui oleh kaum pria.
Perumahan yang dibangun menyerupai rumah panggung, kira-kira satu setengah
meter dari atas tanah. Atap rumah terbuat dari anyaman daun sagu, gaba-gaba
sagu membentuk dinding rumah, dan lantai tertutupi tikar yang terbuat dari daun
sagu juga.
Rumah bujang (jew) ditempati oleh pemuda-pemuda yang belum
menikah dan tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah yang
terdiri dari satu ruangan ini dibangun di atas tiang-tiang kayu dengan panjang
30-60 meter dan lebar sekitar 10 meter. Rumah ini biasa digunakan untuk merencanakan
suatu pesta, perang, dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan
untuk menceritakan dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap clan memiliki
rumah bujang sendiri.
Kemudian, di hutan orang Asmat biasa mendirikan semacam rumah besar, bernama bivak. Bivak merupakan tempat tinggal sementara bagi orang Asmat disaat mereka mencari bahan makanan di hutan.
Di dalam
rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti,
tombak, panah untuk berburu, dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan
yang dianyam menjadi sebuah tas. Tidak sembarang orang boleh menyentuh
noken yang disimpan di dalam rumah adat suku Asmat ini. Noken ini
dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ada syarat dan terapi-terapi
tertentu yang harus dipatuhi pasien dan dipastikan sembuh.
Seorang
suku asmat di rumah bujang tersebut menceritakan bahwa pasien yang berobat
secara adat, asal mematuhi aturan-aturan tersebut, kelak akan sembuh dalam
waktu singkat.
Berikut
beberapa hal menyangkut rumah adat suku Asmat (Jew) :
- Rumah adat suku Asmat yang dibuat dari kayu ini selalu didirikan menghadap ke arah sungai.
- Panjang rumah adat suku Asmat ini bisa berpuluh-puluh meter. Bahkan ada Jew yang panjangnya bisa sampai lima puluh meter dengan lebar belasan meter.
- Sebagai tiang penyangga utama rumah adat suku Asmat, mereka menggunakan kayu besi yang kemudian diukir dengan seni ukir suku Asmat
- Mereka tidak menggunakan paku atau bahan-bahan non alami lainnya, tapi orang Asmat menggunakan bahan-bahan dari alam seperti tali dari rotan dan akar pohon.
- Atap rumah adat suku Asmat ini terbuat dari daun sagu atau daun nipah yang telah dianyam. Biasanya warga duduk beramai-ramai menganyamnya sampai selesai.
- Jumlah pintu jew sama dengan jumlah tungku api dan patung bis. Patung Bis mencerminkan gambaran leluhur dari masing-masing rumpun suku Asmat. Mereka percaya patung- patung ini akan menjaga rumah mereka dari pengaruh jahat.Jumlah pintu ini juga dianggap mencerminkan jumlah rumpun suku Asmat yang berdiam di sekitar rumah adat suku asmat.
Setelah
rumah Jew berdiri, para lelaki biasanya pergi berburu menggunakan perahu Chi
untuk memenggal kepala musuh. Suku Asmat memiliki keunikan dalam mendayung
perahu Chi yang bentuknya menyerupai lesung, yang terbuat dari pohon
ketapang rawa, panjang sebuah chi bisa mencapai dua belas meter. Untuk
membuatnya diperlukan waktu satu sampai dua minggu. Dayungnya terbuat dari kayu
pala hutan dan bentuknya menyerupai tombak panjang. Sebagian perahu Chi diberi
ukiran ular di tepinya serta ukiran khas Asmat di bagian kepalanya.
Ular
merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam. Perahu menjadi alat
yang penting bagi mereka untuk mencari ikan sepanjang hari. Mengambil sagu,
berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka bisa
melintasi sungai hingga puluhan kilometer. Kedekatan suku Asmat dengan perahu
kini menjadi atraksi menarik.
Atraksi
ini menggambarkan bagaimana suku Asmat berperang. Namun semenjak misionaris
datang sekitar tahun lima puluhan, perang antar suku sudah tidak ada.
Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari dan bernyanyi diiringi pukulan alat musik tradisonal Papua, Tifa. Dengan melakukan atraksi ini, orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka akan datang dan akan menjaga rumah mereka.
Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari dan bernyanyi diiringi pukulan alat musik tradisonal Papua, Tifa. Dengan melakukan atraksi ini, orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka akan datang dan akan menjaga rumah mereka.
Jew
adalah salah satu bagian dari nilai-nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat, selain itu
pandai membuat ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.
.
Perahu Noken
Pakain
Tradisional Suku Asmat
Suku Papua di Irian
Jaya memiliki beberapa keunikan yang begitu istimewa, adat istiadat, bahasa,
dan terlebih pakaian adatnya. Baju adat Irian Jaya, Suku Asmat, adalah koteka.
Koteka biasa dikenakan oleh kaum lelaki yang tinggal di sekitar wilayah
Wamena.Koteka terbuat dari kulit labu yang panjang dan sempit, berfungsi untuk
menutup bagian alat reproduksi kaum lelaki. Penggunaannya diikatkan pada tali
yang melingkar di pinggang.
Busana Tradisional ini hanya menutup bagian alat
reproduksi. Jadi, bisa dipastikan tidak ada penutup lain untuk badan. Mungkin
karena inilah banyak Suku Papua yang berkulit hitam. Namun, karena iklim yang
begitu panas, tidak salah jika pakaian adatnya begitu sederhana.
Pakaian untuk para
wanitanya hampir sama dengan kaum pria. Mereka hanya menutup bagian tubuh di
sekitar organ reproduksi. Mereka mengenakan pakaian seperti rok dari bahan akar
tanaman kering yang dipilin atau dirajut seperti benang-benang kasar yang
dijadikan sebagai bawahan atau bisa dikatakan seperti rok yang menutup badan
mereka.
Perempuan Suku Asmat
bertelanjang dada, sama persis seperti para lelakinya. Mereka sudah terbiasa
dengan hal ini sehingga tidak melanggar norma-norma kesusilaan seperti layaknya
di daerah lain.Anda tentu masih ingat pepatah di mana bumi diinjak di sana
langit dijunjung?
Di mana kita berada, kita harus
menghormati adat-istiadat dan budaya dari daerah tersebut.
Sayangnya beberapa
tahun terahkir, perkembangan teknologi dan modernisasi akhirnya masuk dan
mempengaruhi kebudayaan masyarakat suku Asmat. Hal tersebut mengakibatkan
semakin sedikitnya Suku Asmat yang masih menggunakan pakaian adat mereka.
Banyak dari mereka yang menggunakan baju dan celana jeans sama seperti
kebanyakan orang di dunia.
Transportasi
Masyarakat Asmat mengenal perahu lesung sebagai alat
transportasinya. Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk persiapan suatu
penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu tersebut dicoba
menuju ke tempat musuh dengan maksud memanas-manasi musuh dan memancing suasana
musuh agar siap berperang. Selain itu, perahu lesung juga digunakan untuk
keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan.
Setiap 5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu
baru. Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun pembuatan
perahu mereka memilih jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak.
Yang digunakan adalah kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu
susu yang disebut yerak.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu. Untuk membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses pembuatan perahu dari bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat meliputi beberapa tahap. Pertama, batang yang masih kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar supaya perahu menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian muka perahu disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya perlambang pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan sesuai dengan nama saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahu mencapai 15-20 meter. Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu harus diresmikan melalui upacara.
Ada 2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik
keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7
meter. Sedangkan perahu clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang
10-20 meter.
Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.
Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.
Alat musik
Alat musik yang biasa digunakan oleh orang Asmat adalah tifa yang terbuat dari selonjor batang kayu yang dilobangi. Pahatan tifa berbentuk pola leluhur atau binatang yang dikeramatkan. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit kadal dan kulit tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama sesuai dengan orang yang telah meninggal.
Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian hidup orang PAPUA di
daerah pantai adalah meramu sagu, berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah
babi hutan), dan mencari ikan di sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka
juga terkadang menanam buah-buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga
dengan sengaja menanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di
tengah-tengah hutan. Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon
sagunya lagi, lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya . Peternakan:
Babi merupakan prestise dan melambangkan status sosial seseorang. bisa
menyebalkan pecahnya perang suku, dan binatang ini juga berperan sebagai mas
kawin (uang mahar). Mata
pencaharian utama mereka adalah bercocok tanam di ladang.Tanaman utama
sekaligus makanan pokok adalah Hipere atau ubi jalar.
Alat-alat Produktif
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau. Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.
Senjata
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang lunak dan ringan.
Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari.
Makanan
Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Berapa jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :
a) Makanan pokok (sagu)
Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh masyarakat Asmat. Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon itu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh diolah menjadi adonan yang beratnya kira-kira 5 kilogram. Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperlukan.
Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga terbentuknya adonan siap masak memakan waktu sehari penuh, dari matahari terbit hingga terbenam.
b) Makanan tambahan
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu yang merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir delata-delta yang sering tertutup air pada waktu air pasang juga dikumpulkan. Telur-telur ini dikumpulkan dan dibungkus dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun yang ditemukan di hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis daun-daunan yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan pedamping sagu.
Orang Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil
dagingnya yang kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun mereka tangkap
dan dijadikan makanan tambahan.
c) Makanan lainnya
Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak setiap harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa pulang ke kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk kemudian dipanggang.
Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak setiap harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa pulang ke kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk kemudian dipanggang.
Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada burung.
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada burung.
Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.
Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka, dan sering dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak wanita.
Seni tari
Orang-orang Asmat kerapkali melakukan gerakan-gerakan
tarian tertentu saat upacara sakral berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis
dan dinamis yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan perempuan di depan rumah
bujang (Jew) dalam rangka upacara
mbis.
Agama
Masyarakat suku Asmat beragama Katolik, Protestan dan
Animisme yakni suatu ajaran dan praktek keseimbangan alam dan penyembahan
kepada roh orang mati atau patung.
Bagi suku Asmat, ulat sagu merupakan bagian penting
dalam ritual mereka. Setiap ritual ini diadakan, dapat dipastikan kalau banyak
sekali ulat yang dipergunakan.
Sumber Daya Alam
Selain ikan, cucut, kepiting, udang, teripang, dan
cumi-cumi ikan penyu dan hewan air lainnya yang merinpah ruah, daerah Asmat
juga memiliki sumber daya alam yang aman luar biasa seperti: Kayu, rotan,
gaharu, kemiri, kulit masohi, kulit lawang, damar, dan kemenyan.
Wanita dalam Pandangan suku
Asmat
Simbolisasi perempuan dengan flora dan fauna yang
berharga bagi masyarakat Asmat (pohon/kayu, kuskus,anjing, burung kakatua dan nuri,
serta bakung) seperti arti kata Asmat di atas,
menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan
sebagai makhluk yang sangat berharga bagi mereka. Hal ini tersirat juga
dalamberbagai seni ukiran dan pahatan mereka. Namun dalam gegap gempitanya
serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat, tersembunyi suatu realita derita
para ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar oleh dunia luar.
Derita perempuan Asmat adalah menjadi pelakon tunggal,
dalam menghidupi suku tersebut. Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan
untuk suami dan anak-anaknya, mulai dari mencari ikan, udang, kepiting dan
tambelo sampai kepada mencari pohon sagu yang tua, menebang pohon sagu,
menokok, membawa sagu dari hutan memasak dan menyajikan. Setelah itu mencuci
tempat makanan atau tempat masak termasuk mengambil air dari telaga atau sungai
yang jernih untuk keperluan minum keluarga.
Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya
adalah menikmati makanan yang disediakan istrinya, mengisap tembakau, dan
berjudi. Kadang suami membuat rumah atau perahu, namun dengan bantuan istri.
Ada pula suami yang mau menemani istri mencari kayu bakar. Sayangnya mereka
benar-benar hanya menemani. Mendayung perahu, menebang kayu, dan membawanya
pulang adalah tugas istri. Suami yang cukup berbaik hati akan membantu
membawakan kapak istrinya.
Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya
seperti sagu atau ikan, maka istri akan menjadi korban luapan kemarahan. Jika
mereka kalah judi, maka istri pula yang akan dijadikan obyek kekesalan. Mereka
yang tinggal di Agats, kini terbiasa pula untuk mabuk karena minuman keras
telah dijual bebas. Saat mereka mabuk, mereka lebih rentan untuk mengamuk
sehingga istri pun akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.
Kamoro Woman
Kadangkala laki-laki Asmat mengukir jika mereka ingin
atau jika hendak menyelenggarakan pesta. Ketika laki-laki mengukir, maka tugas
perempuan akan semakin bertambah. Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar
dan makanan lain yang diinginkan suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk
mengukir. Semakin lama laki-laki mengukir, semakin banyak pula jumlah makanan
yang harus mereka sediakan. Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat
karena harus memangur, meramah, dan mengolah sagu, dan bahkan menjaring ikan.
Lebih tragisnya lagi, jika ukiran itu dijual maka uangnya hanya untuk suami
yang membuatnya. Perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih
payahnya menyediakan makanan. Padahal tanpa makanan itu, satu ukiran pun tidak
akan selesai dibuat.
Bencana Asmat
Bencana bagi suku Asmat kurang lebih ada 3 yakni: (a)
penyakit malaria, (b)buaya, (c)HIV/AIDS.
Setelah virus HIV-AIDS marak di Asmat dan mulai merenggut korban jiwa, semakin
bertumpuk daftar persoalan yang harus dihadapi pemda dan seluruh masyarakat Asmat.
Sebagai sebuah kabupaten baru yang tengah sibuk-sibuknya melakukan pembenahan
infrastruktur dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka menyelenggarakan
sebuah pemerintah baru, dalam berbagai aspek, berjangkitnya HIV-AIDS ini
merupakan sebuah pukulan telak yang bakal menyedot dana, waktu, tenaga dan
pikiran dari segenap komponen masyarakat Asmat, instansi-instansi terkait dalam
jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat khususnya dan sudah pasti butuh pemerintah
pusat perlu segera mengambil langkah-langkah penanggulangannya.
Ukiran Kayu Suku
Asmat
Karya ukir kayu khas Suku Asmat adalah salah satu kekayaan budaya nasional yang sudah memiliki nama bagi para turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat mempunyai pola yang unik dan bersifat naturalis. Dari pola-pola itu terlihat kerumitan cara membuatnya sehingga membuat karya ukir mereka bernilai tinggi dan cukup banyak diminati para turis asing.
Dari segi model, ukiran Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari, sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu, binatang, orang berperahu, dan lain-lain.
Masyarakat Asmat terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya seninya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan, ada juga perbedaannya. Ada sub etnis yang menonjol ukiran patungnya, ada yang menonjol ukiran salawaku atau perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk hiasan dinding dan peralatan perang.
Yang paling istimewa dan unik adalah bahwa setiap karya ukir tidak memiliki kesamaan atau duplikatnya karena mereka tidak memproduksi ukiran berpola sama dalam skala besar. Jadi, kalau kita memiliki satu ukiran dari Asmat dengan pola tertentu, itu adalah satu-satunya yang ada karena orang Asmat tidak membuat pola sama dalam ukirannya. Bentuk boleh sama, misalnya perisai atau panel, tetapi soal pola pasti akan berbeda. Itulah keunikan ukiran Suku Asmat.
Karya ukir kayu khas Suku Asmat adalah salah satu kekayaan budaya nasional yang sudah memiliki nama bagi para turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat mempunyai pola yang unik dan bersifat naturalis. Dari pola-pola itu terlihat kerumitan cara membuatnya sehingga membuat karya ukir mereka bernilai tinggi dan cukup banyak diminati para turis asing.
Dari segi model, ukiran Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari, sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu, binatang, orang berperahu, dan lain-lain.
Masyarakat Asmat terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya seninya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan, ada juga perbedaannya. Ada sub etnis yang menonjol ukiran patungnya, ada yang menonjol ukiran salawaku atau perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk hiasan dinding dan peralatan perang.
Yang paling istimewa dan unik adalah bahwa setiap karya ukir tidak memiliki kesamaan atau duplikatnya karena mereka tidak memproduksi ukiran berpola sama dalam skala besar. Jadi, kalau kita memiliki satu ukiran dari Asmat dengan pola tertentu, itu adalah satu-satunya yang ada karena orang Asmat tidak membuat pola sama dalam ukirannya. Bentuk boleh sama, misalnya perisai atau panel, tetapi soal pola pasti akan berbeda. Itulah keunikan ukiran Suku Asmat.
Adat- Istiadat Suku Asmat
Dalam
kehidupannya, Suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu a. Kepemimpinan
yang berasal dari unsur pemerintah dan b. Kepala adat/kepala suku yang berasal
dari masyarakat.
Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmal sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didiihului oleh acara adal yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan ssangat diperlukan untuk memperlancar proses tersebut.
Bila kepala suku telah mendekati ajalnya, maka jabatan kepala suku tidak diwariskan ke generasi berikutnya, tetapi dipilih dari orang yang berasal dari fain, atau marga tertua di lingkungan tersebut atau dipilih dari seorang pahlawan yang berhasil dalam peperangan.
Sebelum para misionaris pembawa ajaran agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.
Dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat, melalui berbagai proses, yaitu :
Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmal sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didiihului oleh acara adal yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan ssangat diperlukan untuk memperlancar proses tersebut.
Bila kepala suku telah mendekati ajalnya, maka jabatan kepala suku tidak diwariskan ke generasi berikutnya, tetapi dipilih dari orang yang berasal dari fain, atau marga tertua di lingkungan tersebut atau dipilih dari seorang pahlawan yang berhasil dalam peperangan.
Sebelum para misionaris pembawa ajaran agama datang ke wilayah ini, masyarakat Suku Asmat menganut Anisme. Dan kini, masyarakat suku ini telah menganut berbagai macam agama, seperti Protestan, Khatolik bahkan Islam.
Dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat Suku Asmat, melalui berbagai proses, yaitu :
- Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua.
- Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.
- Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap. Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.
- Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.
Kelompok 3 :
1.
Indah
Amelia
2.
Stefanus
3.
Arif
Saipi Ridwan
4.
Puspita
5.
Yanferi
Josh Kevin
6.
Heris
Trisna Yasin
7.
Julius
Mayon Migo